Ronggeng Dukuh Paruk: Lambang Gairah dan Suka Cita
Novel ini pertama kali terbit tahun 1982 dan dibuat menjadi tiga seri, yakni Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Pada tahun 2003, novel ini diterbitkan ulang dan dijadikan satu dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk.
Mengambil latar 1960-an, novel ini begitu memikat banyak pembaca. Adalah Srintil, seorang warga Dukuh Paruk yang bercita-cita menjadi ronggeng. Dukuh Paruk yang dikenal dengan ronggengnya, kembali hidup setelah mengetahui bahwa Srintil dihinggapi indung Ronggeng atas ijin sesepuh, Ki Secamenggala. Rasus, seorang pemuda yang menaruh hati terhadap Srintil karena melihat adanya wajah Emak dalam diri Srintil. Emak yang tidak pernah ditemuinya lagi setelah kejadian tempe bongkrek yang menggemparkan perdukuhan tersebut.
Ronggeng bagi dunia Dukuh Paruk adalah citra sekaligus lambang gairah dan suka cita. Keakuannya adalah tembang dan joget.
Dukuh Paruk yang merupakan dukuh kecil dan tertinggal, kembali berjaya dan gemilang setelah adanya Ronggeng Srintil. Namun, Rasus sebenarnya tidak ingin Srintil menjadi ronggeng karena dengan menjadi ronggeng, berarti Srintil bukan hanya untuk dia, melainkan untuk semua orang.
Cerita kesederhanaan, nrimo warga Dukuh Paruk dan juga konsep gotong royong yang membuat warganya terutama Rasus cinta akan tempat yang telah membesarkannya. Meskipun dukuh tersebut dikenal sebagai dukuh yang cabul, bodoh, dan kumuh.
Dalam hidup ini orang harus nrimo ing pandum; ikhlas menerima jatah; jatah yang manis atau jatah yang getir.
Kehidupan adalah pakem; manusia tinggal menjadi pelaku-pelaku yang bermain di atas kehendak dalang.
Ahmad Tohari selalu menyinggung dunia perpolitikan dalam bukunya. Dalam buku ini, Mbah Tohari sedikit menyinggung tentang kejadian Tahun 1965. Bagaimana Srintil dan warga Dukuh Paruk dinilai menjadi/mendukung komunis karena sering mengikuti rapat-rapat anggota partai tersebut untuk meronggeng. Persinggungan ini juga menarik untuk diikuti. Memadukan sebuah karya seni dan juga politik.
Kekalahan historis tidaklah segera kelihatan, namun kekalahan dan kehancuran pribadi sudah tampak sosoknya, telanjang tanpa aling-aling.
Menyerah pada kunci waktu adalah kelemahan dan keputusasaan yang harus dibuang jauh.
Sejarah adalah sejarah. Kedudukan sejarah sebagai guru kehidupan tak mungkin disingkirkan.
Penulisan Ahmad Tohari begitu khas dengan kesederhanaannya dan juga deskripsi tentang alamnya yang membuat kita seolah-olah kita ikut terbawa dalam cerita yang ingin disampaikan.
Keselarasan dan penyelarasan diri dengan selera alam lebih menenteramkan jiwa daripada segala kekerasan.
Posting Komentar untuk "Ronggeng Dukuh Paruk: Lambang Gairah dan Suka Cita"