Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menandai Dua Belas Pasang Mata Sebagai Buku Cinta Damai

 Anak-anak sekedar bertumbuh dalam suka cita dan kesedihan mereka sendiri.

Mungkin kalimat tersebut cukup tepat untuk menggambarkan sedikit tentang buku yang berjudul Dua Belas Pasang Mata ini. Buku karya Sakae Tsuboi tentang kedua belas anak didik dan Ibu Guru mereka.


Buku yang terbit tahun 1952 ini diawali dengan kebahagiaan Ibu Guru Hisako Oishi yang ditugaskan kepala sekolah untuk mengajar. Meskipun bukan di sekolah utama seperti yang diharapkan, ia cukup bersyukur akhirnya bisa mengajar di sekolah cabang yang terletak di desa tanjung. Desa yang berjarak delapan kilometer dari rumahnya.


Saat itu tahun 1928, Ibu Guru Oishi pergi untuk memulai kelas pertamanya dengan mengenakan busana gaya barat dan mengendarai sepeda. Penampilan tersebut mendapatkan atensi dari penduduk desa tanjung yang masih mengenakan kimono dan berjalan kaki.


Ibu Guru Oishi lebih menyukai belajar dengan praktek langsung seperti saat desa tanjung terkena musibah angin topan. Ibu Guru Oishi mengajak anak didiknya untuk pergi bersama ke rumah penduduk sekitar yang rumahnya terdampak musibah tersebut. Pengalaman seperti ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa empati dan simpati serta kepekaan anak didiknya terhadap sesama dan lingkungan sekitar.


Hukum mengharuskan anak-anak ini disekolahkan, tapi tidak ada cara praktis untuk menerapkannya.”

Seperti apa yang dialami salah satu murid Ibu Guru Ooishi yang bernama Matsue. Ia tidak bisa melanjutkan sekolah lantaran harus membantu sang ayah mengasuh adiknya dan mengurus rumah setelah ditinggal ibunya. 


Kekhawatiran Ibu Guru Oishi akan masa depan anak didiknya dijelaskan juga di buku ini. Terlebih kekhawatiran tersebut ditujukan kepada Matsue. Bagaimana bisa anak-anak yang lahir di tahun yang sama, mengenyam pendidikan yang sama, akan mempunyai masa depan yang berbeda. Jurang masa depan yang berbeda sudah mulai terlihat. Kini teman-teman Matsue mulai mengejar cita-cita mereka, masa depan mereka sendiri dengan cara masing-masing.


Kekhawatiran Ibu Guru Oishi yang lain adalah saat anak didiknya yang laki-laki menginjak dewasa. Di tahun-tahun tersebut, para pemuda direkrut untuk mengikuti wajib militer. Ibu Guru Oishi tidak begitu menyukai ide ini. Banyak nyawa yang dipertaruhkan untuk perang. Ia terenyuh dan merasa sedih saat melihat kelima anak didiknya yang laki-laki menjalani pemeriksaan fisik saat tidak sengaja berpapasan dengannya di kota. “Mengapa orang tidak diperbolehkan menghargai nyawa manusia dan mencegah supaya mereka tidak mati kena peluru serta hancur berkeping-keping? Apakah ‘menjaga ketentraman umum’ berarti melarang kebebasan berpikir, bukannya menghargai serta melindungi nyawa manusia?”


Buku ini direkomendasikan untuk dibaca terlebih jika ingin mengetahui bagaimana sudut pandang seorang guru terhadap anak didiknya. Hanya saja, pelajaran tentang kehidupan dan (mungkin) nasihat yang bisa disampaikan Ibu Guru Oishi terhadap kehidupan pribadi anak didiknya tidak begitu banyak. Terutama saat bagaimana perasaan anak didiknya menghadapi berbagai situasi yang sulit tersebut seperti perang. Buku ini lebih mengedepankan perasaan cinta damai yang dituangkan dalam renungan-renungan sang guru.

Rahmalia Fauza
Rahmalia Fauza On ne voit bien qu'avec le cœur. L'essentiel est invisible pour les yeux.

Posting Komentar untuk "Menandai Dua Belas Pasang Mata Sebagai Buku Cinta Damai"